Kamis, 25 Agustus 2011

“Misi Kristen di Buku Sejarah SMP”


Oleh: Dr. Adian Husaini

DALAM sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”

Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61)

Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!

Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.

Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”

Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:

“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).

Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:

“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).

Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:

“Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).

Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).

Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).

Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:

“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).

Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).

Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).

Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:

“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).

Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:

“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).

Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:

“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).

Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:

“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).

Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP.

Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab.*/Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011.

Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Jumat, 05 Agustus 2011

Surat Dari Muhammad Al Fatih Untuk Para Pemimpin

Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca terkait dengan kecerdasan Muhammad al Fatih saat usianya masih muda. Ketika ia mendapatkan amanah dari ayahnya Sulthan Murad II untuk memimpin ibu kota karena pada saat itu beliau hendak pergi beruzlah untuk bertaqorub kepada Allah.
Pada saat melaksanakan amanah ini, Muhammad al Fatih mendapatkan serangan dari Pasukan Salib di Varna-Bulgaria. Terdesak karena masih minimnya jam terbang dalam menjalankan pemerintahan, kemudian ia meminta ayahnya untuk turun membantunya, namun ayahnya selalu menolaknya. Beberapa kali ia mengirim surat kepada ayahnya, namun bantuan yang diharapkan tak kunjung dating. Akhirnya, al-Fatih menulis ‘surat sakti’ kepada ayahnya yang isinya (dalam terjemah bahasa bebasnya):


Surat al-Fatih pada ayahnya (Murad II) yang pergi  beruzlah:
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau ayah?
Kalau ayahanda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau Saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
saya perintahkan ayahanda sekarang juga untuk datang kemari ikut memimpin pasukan membela rakyat.

Hormat Ananda
Muhammad al-Fatih


Skak match! Kalah cerdas dan tidak mempunyai alasan lagi, akhirnya ayahnya turun ke medan perang untuk menjadi pemimpin bagi anaknya.

Sebuah Ibrah
Dari kisah di atas ada beberapa ibrah yang memberikan inspirasi dakwah bagi saya, diantaranya :
1.Seandainya al Fatih berada di tengah-tengah kita pada kondisi seperti saat ini, dia akan menulis surat untuk para pemimpin negeri ini :


Surat al-Fatih untuk para pemimpin
Siapakah yang saat ini menjadi sulthan Saya atau Anda?
Kalau Anda yang menjadi sulthan,
maka seharusnya seorang pemimpin berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini
Kalau saya yang menjadi sulthan, maka sebagai pemimpin,
Saya perintahkan Anda sekarang juga untuk datang kemari ikut berjuang bersama ummat menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Hormat Saya
Muhammad al-Fatih


2. Mungkin perlu juga kita mengirimkan surat semisal ini kepada ayah kita ataupun kita sendiri. Karena walaupun bukan sebagai kepala Negara, tetapi amanah sebagai kepala rumah tangga juga akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sudahkah keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah + dakwah?

3. Kita perlu menanamkan semangat jiwa al Fatih pada diri kita, karena meskipun gelar ‘sebaik-baik pemimpin’ telah diraih oleh Muhammad al Fatih karena berhasil mewujudkan bisyaroh nubuwah dengan menaklukkan Konstantinopel. Janganlah kita lupa karena masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan bisyaroh nubuwah yang lain, yaitu dengan berjuang bersama untuk mewujudkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwah. Isnya Allah.
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bishowab.

Meski Menderita, Rakyat Gaza Menolong Somalia yang Kelaparan

Inilah salah satu hal yang pantas ditiru dari sauadara-saudar ki ta di Gaza, meskipun daerah mereka dibombardir dan diisolasi mereka tetap membantu saudaranya.melalui organisasi Arab Medical Union (AMU) di Gaza sedang berkampanye menggalang dana demi menolong saudara-saudaranya di Somalia yang sedang diserang wabah kelaparan terburuk dalam 60 tahun ini.

“Kampanye ini dilakukan untuk menunjukkan kesatuan tubuh antara Gaza yang sedang diembargo dengan Somalia, dan bahwa rakyat Palestina mampu menolong dan mendampingi rakyat Somalia dalam penderitaannya,” kata Abdurrahman Al-Haddad, Kordinator Panitia Darurat AMU, kepada PIC.

Dia menambahkan, meskip rakyat Gaza juga sedang menderita, mereka masih merasakan sakit yang diderita kaum Muslimin di tempat lain, khususnya di Somalia, di mana musibah besar itu sedang berlangsung.

Lebih dari itu dokter-dokter dan paramedis AMU dari Gaza sudah mengirim delegasi ke Somalia. Menurut Abdurrahman, para anggota delegasi melaporkan dari Somalia, bahwa keadaan di lapangan yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, ternyata lebih parah dari yang diberitakan media massa.

Diperkirakaan saat ini, sekitar 11 juta jiwa rakyat Somalia terancam mati dan 4 juta sedang menderita kelaparan.

Abdurrahman menambahkan, kampanye “dari Gaza… Bahu-membahu Menyelamatkan Anak-anak Somalia” akan terus dilakukan sepanjang Ramadhan di Jalur Gaza.

Seluruh bantuan berupa uang akan segera ditransfer ke markas AMU di Mesir, yang akan dibelikan makanan dan obat-obatan yang segera dikirim terus-menerus ke Somalia. Abdurrahman menyebutkan, bahkan uang sejumlah USD10 (sekitar Rp86.000) pun sangat berarti untuk menyelamatkan nyawa seorang warga Somalia.

Menurut berbagai laporan, satu anak Somalia mati setiap seratus detik. Setiap hari orang yang mati lebih banyak dari yang dibunuh Zionis Israel dalam serangannya terhadap Gaza dua tahun lalu.*